HAKIKAT DAN CIRI BELAJAR
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Kita semua mungkin
tidak merasa asing dengan istilah Belajar, karena istilah ini tidak terbatas
penggunannya dalam kegiatan Formal Pendidikan di Sekolah, akan tetapi juga
dipergunakan untuk menyatakan aktivitas seharian yang berkenaan dengan upaya
untuk mendapatkan informasi, pengetahuan atau keterampilan baru yang belum
diketahui atau untuk memperluas dan memperkokoh Pengetahuan tentang sesuatu
yang telah dimiliki sebelumnya.
Meskipun Istilah
Belajar tidak Asing lagi bagi kita, namun dipandang perlu untuk mengkaji
kembali secara lebih mendalam agar kita dapat menemukan makna Esensial Belajar,
sekaligus pula mengklarifikasi apakah kegiatan-kegiatan yang selama ini kita
sebut Belajar, sudah sesuai dengan Hakikat Belajar sesungguhnya.
B.
Permasalahan
Dari latar belakang diatas, penulis
membuat permasalahan sebagai berikut:
1.
Menjelaskan
Pengertian Belajar.
2.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Belajar.
3.
Membedakan
Pengertian Belajar menurut beberapa Aliran.
4.
Menguraikan
Tujuan Belajar.
5.
Memberikan
Contoh Implementasi Tujuan Belajar pada Kegiatan Pembelajaran.
6.
Menganalisa
implikasi prinsip-prinsip belajar dalam Pembelajaran.
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian
Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional
pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire (Shapiro,
1997:5). Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi
keberhasilan, antara lain: Empati, Mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai,
kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan,
keramahan serta sikap hormat.
Menurut Daniel
Goleman, menjelaskan bahwa beberapa konsep keliru yang paling lazim terjadi dan
harus diluruskan, Pertama, kecerdasan
emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang
diperlukan bukan “bersikap ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang
barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang
selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan
emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa
“memanjakan perasaan-perasaan”, melainkan mengelola perasaan-perasaan
sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang
memungkinkan orang bekerjasama dengan lancer menuju sasaran bersama.
Salovey dan Meyer
mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik
pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”.
Pendapat keduanya
memberikan isyarat bahwa keterampilan EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ
atau keterampilan kognitf, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik
pada tingkatan konseptual maupun empirik. Idealnya seseorang dapat menguasai
keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional. Barangkali
perbedaan mendasar antara IQ dan EQ adalah, bahwa EQ tidak dipengaruhi oleh
faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik
untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam agar anak mempunyai
peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Dengan demikian kecerdasan
emosional lebih merupakan hasil dari aktivitas individu dalam melatih
fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih
merupakan hasil belajar.
B.
Ciri-ciri
Kecerdasan Emosional
Menurut sejumlah penelitian, telah
banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih
signifikan dibandingkan kecerdasan Intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ)
barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah
yang sesungguhnya (hampir seluruhnya terbukti) mengantarkan seseorang menuju
puncak prestasi.
Goleman menggambarkan beberapa ciri
kecerdasan emosional yang terdapat pada diri seseorang berupa:
- kemampuan memotivasi diri sendiri;
- ketahanan menghadapi frustasi;
- kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
- kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a.
Kemampuan-kemampuan
ini ternyata mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap diri
seseorang untuk mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan.
Kemampuan
memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada diri seseorang berupa
kekuatan menjadi suatu energi yang mendorong seseorang untuk mampu menggerakan
potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental dalam melakukan aktivitas
tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan.
Kemampuan
menghadapi masalah akan mendorong anak untuk memiliki daya tahan yang lebih
tinggi bilamana suatu saat ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih
kompleks dan rumit yang mungkin menyeret dirinya menjadi frustasi.
Kemampuan
mengendalikan dorongan hati dan tidak melbih-lebihkan kesenangan menjadi ciri
dari kecerdasan emosi. Kematangan berpikir anak, tidak dapat sekedar
ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi justru lebih banyak ditunjukkan
melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika anak menghadapi sukses seringkali
kita melihat mereka mengaktualisasikan dengan sikap yang berlebih-lebihan dan
tidak jarang lupa dengan lingkungannya.
Kemampuan
menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan
berfikir juga merupakan salah satu ciri dari kecerdasan emosional. Kemampuan
ini terkait dengan kemampuan mengatasi masalah, karena seseorang yang telah
mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi akan lebih dewasa dalam
menghadapi persoalan-persoalan lebih berat
C. Emosi dan Kegunaannya
Kecerdasan
emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang yang paling mendalam, dan
merupakan suatu kekuatan, karena adanya emosi itu manusia dapat menunjukkan
keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi. Emosi menyebabkan seseorang
memiliki rasa cinta yang sangat mendalam sehingga seseorang bersedia melakukan
suatu pengorbanan yang sangat besar sekalipun, walau kadang-kadang pengorbanan
itu secara lahiriah tidak memberikan keuntungan langsung pada dirinya bahkan
mungkin mengorbankan dirinya sendiri. Kekuatan emosi seringkali mengalahkan
kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang mungkin secara nalar tidak
mungkin dilakukan seseorang, tetapi karena kekuatan emosi kegiatan itu
dilakukan.
Karena
emosi merupakan suatu kekuatan yang dapat mengalahkan nalar, maka harus ada
upaya untuk mengendalikan, mengatasi dan mendisiplinkan kehidupan emosional,
dengan memberlakukan aturan-aturan guna mengurangi ekses-ekses gejolak emosi,
terutama nafsu yang terlampau bebas dalam diri manusia yang seringkali
mengalahkan nalar. Pengembangan emosi dikalangan anak-anak akan membantu mereka
mengambil keputusan dan dapat menilai mana sesuatu yang harus dilakukan dan
mana yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian berarti pula melindungi mereka
dari propaganda dan slogan yang tidak sesuai dengan diri dan nilai-nilai yang
dianutnya.
Manusia
secara universal memiliki dua jenis tindakan pikiran, yaitu tindakan pikiran
emosional (perasaan) dan tindakan pikiran rasional (berpikir). Kedua cara
pemahaman yang secara fundamental berbeda ini bersifat saling mempengaruhi
dalam membentuk mental manusia. Pertama pikiran rasional, adalah model
pemahaman yang lazimnya kita sadari: lebih menonjolkan kesadarannya, bijaksana,
mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan dengan itu ada
sistem pemahaman yang lain: yang implusif dan berpengaruh besar bila
kadang-kadang tidak logis, yaitu fikiran emosional. Dikotomi rasional/emosional
kurang lebih sama dengan istilah awam antara ”hati” dan ”kepala”. Mengatakan
sesuatu yang benar di dalam hati merupakan tingkat keyakinan yang berbeda yang
cenderung merupakan kepastian lebih mendalam daripada menganggap benar dengan
menggunakan akal.
Uraian
diatas menyiratkan betapa pentingnya keseimbangan akal dan emosi, menyesuaikan
kepala dan hati, dan bilamana keseimbangan ini goyah akan terjadi peseteruan
nalar dan perasaan. Yang mendasari semua ini adalah bagaimana seseorang dapat
memahami penggunaan emosi secara cerdas sehingga dia akan dapat menjalankan
aktivitas kehidupannya dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan.
D. Penerapan Kecerdasan
Emosional
Daya-daya emosi yang dimiliki oleh orang-orang dewasa sesungguhnya berakar
dari masa kehidupan kanak-kanak. Akar perbedaan emosi meskipun untuk sebagian
bersifat biologis dapat pula diselusuri dari kehidupan masa kanak-kanak dan
dari dua dunia emosi terpisah yang dihuni untuk laki-laki dan yang dihuni oleh
anak-anak perempuan ketika mereka tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan perlakuan
orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan itu sendiri terhadap suatu
persoalan memperkuat sinyal perbedaan ketika mereka dewasa.
Perbedaan-perbedaan dalam pendidikan emosi menghasilkan
keterampilan-keterampilan berbeda, anak perempuan mahir membaca baik sinyal
emosi verbal maupun nonverbal, mahir mengungkapkan dan mengkonsumsikan
perasaan-perasaannya, dan anak laki-laki menjadi cakap dalam meredam emosi
berkaitan dengan perasaan rentan, salah, takut dan sakit. Jika dilihat lebih
jauh dalam kehidupan berumah tangga, maka umumnya kaum wanita memasuki jenjang
perkawinan dengan sikap siap untuk berperan sebagai menejer emosi, sedangkan
pria datang dengan pemahaman yang jauh lebih sempit tentang pentingnya tugas
untuk membantu mempertahankan kelanggengan hubungan. Akibat perbedaan-perbedaan
emosi antara suami dan isteri akhirnya menimbulkan keluhan-keluhan dan
ketidakcocokan dalam kehidupan keluarga. Kegagalan dalam mengatasi hal-hal ini
dapat menyebabkan pasangn suami isteri akan rawan terhadap keretakan-keretakan emosional
yang pada akhirnya dapat menghancurkan hubungan mereka.
Dalam proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan
secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifikasi
pembelajaran. Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan
tentang cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian
penting dalam rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi anak
secara optimal. Karena itu berikut bentuk konkrit upaya mengembangkan
kecerdasan emosional anak.
- Mengembangkan Empati dan Kepedulian
Beberapa cara yang perlu
dilatihkan kepada anak-anak untuk mengembangkan sikap empati dan kepedulian, antara
lain:
a.
Memperketa tuntutan pada anak mengenai sikap
peduli dan tanggungjawab.
b. Mengajarkan dan
melatih anak mempraktekkan perbuatan-perbuatan baik
c.
Melibatkan anak di dalam kegiatan-kegiatan layanan
masyarakat.
- Mengajarkan Kejujuran dan Integritas
Beberapa hal penting yang
dapat dilakukan guru atau orang tua dalam menumbuhkan kejujuran anak, antara
lain adalah:
a.
usahakan agar pentingnya kejujuran terus menerus
menjadi topik dalam rumah tangga, kelas dan sekolah.
b. Membangun kepercayaan
dengan menyampaikan cerita-cerita yang bertemakan saling kepercayaan, atau
melalui berbagai bentuk permainan.
c.
Menghormati privasi anak, memberikan ruang bagi
tumbuhnya rasa percaya pada anak dan penghargaan pada anak.
- Mengajarkan Memecahkan Masalah
Dalam praktik pembelajaran,
mengajarkan anak memecahkan masalah akan lebih baik bilamana juga sekaligus
diajarkan cara-cara berpikir sistematik.karena itu langkah-langkah pemecahan
masalah berikut sangat tepat untuk diterapkan, yaitu:
a.
mengidentifikasi masalah
b. memikirkan alternatif
pemecahan
c.
membandingkan alternatif-alternatif pemecahan yang
mungkin akan dipilih
d. menentukan pemecahan
yang terbaik.
Dalam mengajarkan siswa
memecahkan masalah hendaknya memperhatikan secara sungguh-sungguh pengalaman
siswa, terutama sekali di kalangan siswa yang berada pada jenjang pendidikan
yang lebih rendah.
BAB III
Kesimpulan
Hasil belajar
yang diharapkan dicapai oleh anak adalah terjadinya perubahan perilaku
holistik. Pandangan yang menitikberatkan hasil belajar dalam bentuk penambahan pengetahuan
saja merupakan wujud dari pandangan yang sempit, karena belajar dan
pembelajaran harus dapat menyentuh dimensi-dimensi individual anak secara
menyeluruh, termasuk dimensi emosional yang dalam waktu cukup lama luput dari
perhatian.
Melalui
kegiatan belajar mengajar, guru harus menyediakan atau menciptakan ruang yang
luas dan iklim yang kondusif untuk berkembangnya kecerdasan emosional anak.
Kemampuan guru dalam melatih setiap dimensi-dimensi emosi harus dipandang
sebagai bagian esensial pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar