A. Pendahuluan
Ilmu
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara lebih cepat dan lebih
mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban
manusia sangat membutuhkan ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti
hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan
yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu, manusia juga bisa merasakan kemudahan
lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain
sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan
sarana untuk membantu dalam mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu
bukan saja menimbulkan dehumanisasi namun bahkan mengubah hakikat manusia itu
sendiri. Dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga dapat menciptakan tujuan hidup itu
sendiri. Menghadapi kenyataan seperti itu ilmu yang pada hakekatnya mempelajari
alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya,
apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi mausia. Untuk itu
dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan berbagai bentuk
teknologi. Sehingga ilmu harus ditempatkan secara proposional dan memihak pada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada
nilai-nilai maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang
ilmuwan akan dihadapkan kepada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan harus dipupuk yang
berada pada tempat yang tepat yakni tanggung jawab akademik dan tanggung jawab
moral.
B.
Pengertian
Aksiologi dan Ilmu
1.
Definisi
Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan
logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang
nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika.[1] Aksiologi merupakan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.[2] Aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang
harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu itu sendiri.
Sedangkan dalam
Encyclopedia of Philosophy, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value
and valuation, yaitu:[3]
a.
Nilai
digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b.
Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya atau nilai dia.
c.
Nilai juga
dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas
bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika
dan estetika.
d.
Definisi
Ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari
kata Yunani yaitu scientia yang berarti ilmu. Atau dalam kaidah bahasa
Arab berasal dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan.[4] Ilmu atau sains adalah pengakajian sejumlah penrnyataan-pernyataan
yang terbukti dengan fakta-fakta dan ditinjau yang disusun secara sitematis dan
terbentuk menjadi hukun-hukum umum.
Ilmu mempunyai
fungsi yang sangat penting bagi kehidupn
manusia, ilmu dapat membantu manusia untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan
memprediksi berbagai kejadian baik yang bersifat alami, maupun sosial yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Berkat kemajuan ilmu atau teknologi maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan,
transportasi, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Namun sejak awal pertumbuhan ilmu sudah
dikaitkan dengan tujuan negatif, sehingga ilmu bukan saja digunakan untuk
menguasai alam melainkan untuk memerangi dan menguasai sesama manusia.
2.
Sistem
Nilai dan Pandangan Hidup
Istilah nilai dalam bahasan Inggris
adalah “value”. Dalam bahasa Latin “velere” atau bahasa Perancis
Kuno “valoir”. Rohmat Mulyana memaknai nilai secara denotatif
dengan “harga”. Misalnya nilai atau harga dalam perspektif ilmu ekonomi,
ilmu politik, ilmu jiwa dan sebagainya. Maka dalam konteks filsafat nilai
segala sesuatu harus bernilai, misalnya nilai estetik, nilai etik, nilai sosial
dan nilai biologis.[5] Oleh karena itu, maksud filsafat nilai adalah
pembahasan tentang paradigma aksiologis atas segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada sehingga dihubungkannya pada hakikat fungsional seluruh
pengetahuan. sehingga teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk
arti, pertama etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Seperti ungkapan “ saya pernah belajar etika”.
Arti kedua merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
hal-hal, perbuatan-perbuatan oleh manusia yang lain.[6] Contoh “ia bersifat etis atau ia seorang yang
jujur”. Atau contoh lain, “pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena disekelilingnya. Nilai itu objektif ataukah subjektif sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila
subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur
segalanya, atau eksistensi maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apa ini bersifat psikis
atau fisik.[7] Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak
suka, senang atau tidak senang. Misalnya, seseorang akan senang melihat
matahari yang sedang terbenam di sore hari. Hal ini menimbulkannya rasa senang
karena melihat betapa indahnya matahari yang terbenam itu. Inilah yang
dikatakan merupakan nilai subjektif dari
seseorang dengan orang lain dan akan memiliki kualitas yang berbeda.
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam
menentukan topik penelitian, bebas dalam melakukan eksperimen-eksperimen.
Kebebasan ini yang nantinya akan mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang
ilmuan bekerja dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik.
Nilai objektif menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan
nilai-nilai subjektif, seperti nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat,
dan sebagainya.
Perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Dengan
mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan. Setelah
mempelajari teknologi pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya
sebagai sumber energi bagi keselamatan dan kebutuhan manusia, tetapi dipihak
lain bisa juga bersifat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari
alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu
dipergunakan? Jawabannya, bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan
nilai-nilai moral.
Masalah moral dalam ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan.
Golongan pertama berpendapat bahwa
ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis
maupun aksiologi. Golongan kedua
berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan pada
nilai-nilai moral.
Etika keilmuan merupakan etika
normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjwabkan
secara rasional dan diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan
adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang
baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam prilaku keilmuannya, sehingga
ia dapat mempertanggungjawabkan prilaku
ilmiahnya.
Nilai moral tidak berdiri sendiri,
melainkan berada pada atau menjadi milik seseorang yang akan bergabung dengan
nilai yang sudah ada seperti agama, hukum, budaya, adat, sosial, dan
sebagainya. Norma moral menentukan apakah seorang berlaku baik ataukah buruk
dari sudut etis.
Penerapan ilmu pengetahuan yang sudah
dihasilkan oleh para ilmuan, baik berupa teknologi maupun teori-teori
emansipasi masyarakat mesti memperhatikan nilai-nilai kemanusian, nilai agama,
nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut tidak bebas
nilai. Ada kalanya penerapan teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat
menolak atau mengklaim suatu teknologi yang bertentangan atau tidak sejalan
dengan keinginan dan pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti
rekayasa genetik (kloning manusia).
Di bidang etika tanggung jawab seorang
ilmuan bukan lagi memberi informasi melainkan menjadi contoh. Dimana ia harus
bersifat objektif, dapat menerima kritik dan pendapat, kukuh dalam pendirian
yang dianggap benar, serta berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan
implikasi etis dari proses menemukan kebenaran secara ilmiah.
3.
Ilmu
Pengetahuan dan Sistem Nilai
Ilmu
pengetahuan ialah hasil usaha pemahaman
manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian,
bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-hal yang diselidikinya (alam, manusia
dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau oleh pemikiran manusia yang dibantu
penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan
eksperimental.[8]
Ilmu
pengetahuan juga merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan apa yang
diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Untuk itu ilmu pengetahuan berkaitan
erat dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah ilmu pengetahuan itu
eksis. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuan dengan objeknya. Sedangkan
ketidaksesuaian pengetahuan dengan objeknya disebut kekeliruan.
Setelah
mengetahui definis ilmu pengetahuan, maka ciri-ciri dari sesuatu yang
dikategorikan menjadi ilmu pengetahuan adalah karena ada objeknya. Ada dua macam
objek ilmu pengetahuan yaitu objek materi dan objek forma.[9] Objek materi ialah sasaran atau bahan yang
dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. Sedangkan objek forma ialah sudut
pandang atau cara pandang mengenai objek materi tersebut, sehingga dengan objek
forma ini dapat dibedakan menjadi ilmu tertentu.
Ilmu
pengetahuan diartikan juga sebagai lukisan atau keterangan yang lengkap dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sesederahan mungkin. Fudyartanta
menyebutkan ada empat fungsi ilmu pengetahuan, yaitu :[10]
a. Fungsi deskriptif yaitu
menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu obyek atau masalah sehingga
mudah dipelajari oleh peneliti.
b. Fungsi pengembangan ialah
melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang
baru.
c. Fungsi prediksi yaitu
meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia
dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya.
d. Fungsi kontrol merupakan
berusaha untuk mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.
Dengan demikian fungsi ilmu
pengetahuan ialah untuk kebutuhan hidup manusia di dalam berbagai bidangnya. Sedangkan
nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang akan dinilai. Terdapat
beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki nilai :[11]
1). Kaum Idealis. Mereka
berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual
lebih tinggi daripada nilai non spiritual (niai material).
2). Kaum Realis. Mereka menempatkan niai rasional
dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas
objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3). Kaum Pragmatis. Menurut mereka, suatu
aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang
penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap
nilai-nilai yang meghargai masyarakat.
Nilai dan kegunaannya
dalam ilmu pengetahuan yang merupakan manusia belajar dari pengalaman dan
berasumsi bahwa dalam mengikuti hokum-hukum dan aturan-aturannya. Sehingga ilmu
adalah salah satu hasil budaya manusia dimana lebih mengutamakan kuantitas yang
obyektif dan mengesampingkan kualitas subyektif yang berhubungan denngan
keinginan pribadi. Untuk itu dengan ilmu manusia tidak akan mementingkan
dirinya sendiri. Adapun persamaan dan perbedaan dari nilai di dalam ilmu
pengetahuan, diantaranya:
Persamaannya :
1)
Kedua-duanya
mencari rumusan yang sebaik-baiknya.
2)
Kedua-duanya
memberikan pengertian yang mengenai hubungan yang ada antara kejadian yang kita
alami.
3)
Kedua-duanya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang
berhubungan dengan kejadian.
4)
Kedua-duanya mempunyai metode dan sistem
5)
Kedua-duanya menjelaskan tentang
kenyataan yang sedang terjadi.
Perbedaannya :
1)
Obyek material atau lapangan ialah seluruh
lapangan atau bahan yang dijadikan sebagai obyek penyelidikan suatu ilmu.
2)
Obyek forma atau sudut pandnag ialah obyek
material yang diperhatikan oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu
dari ilmu lainnya, jika berobyek materinya sama
Jadi yang membedakan satu ilmu dari yang
lainnya ialah obyeknya. Apabila kemungkinan obyek materinya sama, maka yang
terutama membedakan satu ilmu dari ilmu yang lainnya itu ialah obyek formanya,
yaitu sudut pandangan tertentu yang menentukan macam ilmu.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di
atas, dapat disimpulakan sebagai berikut:
Makna aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki kegunaan ilmu dan hakikat nilai-nilai yang
terkandung dalam ilmu yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi
berasal dari kata Yunani, yaitu axios
berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tantang
nilai”.
Ilmu pengetahuan ialah hasil
usaha pemahaman manusia yang disusun
dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan
hukum-hukum tentang hal-hal yang diselidikinya (alam, manusia dan juga agama)
sejauh yang dapat dijangkau oleh pemikiran manusia yang dibantu
penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan
eksperimental.
Ilmu pengetahuan berfungsi untuk
kebutuhan hidup manusia di dalam berbagai bidangnya. Sedangkan nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang akan dinilai.
Keguanaan ilmu secara moral harus
ditujukan untuk kebaikkan manusia tanpa merendahkan martabat atau merubah
hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama
dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya.
DAFTAR PUSTAKA
A.Susanto, Filsafat
Ilmu, Jakarta, Bumi Aksara, 2011
Anshari, Endang Saifuddin,
Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu, 1979
Bahtiar, Amsal, Filsafat
Ilmu, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011
Mustansyir, Rizal, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010
Suriastmantri, Filsafat
Ilmu Sebuah PengantarPopuler, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003
Saebani, Beni
Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung, Pustaka Setia, 2009
Salam,
Burhanuddin, Logika Materil:Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Rineka
Cipta, 1997
[1] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
hal. 116
[2] Burhanuddin Salam, Logika Materil:Filsafat Ilmu Pengetahuan,(Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), hal. 169
[3] Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 164
[4] Suriastmantri, Filsafat Ilmu Sebuah PengantarPopuler,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hal. 78
[5] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hal. 191
[6] A. Susanto, Op.Cit., hal. 118
[7] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hal. 29
[8] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hal. 167
[9] A. Susanto, Op.Cit., hal. 123
[10] Ibid, hal. 60
[11] Amsal Bahtiar, Op.Cit.,, hlm. 162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar