Jumat, 15 Maret 2013

TQM (Pemimpin kualitas)

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
UNTUK KUALITAS

A. Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dari inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas Kepemimpinan kependidikan adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan untuk memberdayakan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan dengan guru kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja guru, melalui pemberdayaan sumber daya manusia (guru).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi Kepemimpinan kependidikan berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan siswa dapat belajar dengan tenang. Di samping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepala sekolah mampu mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan meningkatkan kinerjanya.
Kepemimpinan kependidikan sebaiknya menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri.
Kepemimpinan kependidikan yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru  sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal tersebut dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guru terhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi siswa di sekolah. Kepala sekolah juga dituntut untuk mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating and controlling, sebab ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja guru . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis dengan peran kepala sekolah sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

KONSEP PENDIDIKAN RAHMAH EL YUNUSIYAH

KONSEP PENDIDIKAN RAHMAH EL YUNUSIYAH A. Riwayat Hidup Rahmah El Yunusiyah Rahmah El Yunusiyah, lahir di Padang Panjang pada tanggal 29 Desember 1900, dan wafat di daerah yang sama pada tanggal 26 Februari 1969. Beliau pendiri Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang (Sumatera Barat) yang merupakan perguruan wanita Islam pertama di Indonesia, dan pelopor bedirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatera Barat. Rahmah adalah anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus (dari Pandai Sikat) dan Rafi’ah (dari Si Kumbang). Ayahnya adalah seorang kadi di Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Kakeknya adalah Syaikh Imadudding, ulama terkenal Minangkabau, tokoh Tarekat Naksyabandiyah . Riwayat pendidikannya dimulai dari belajar pada ayahnya. Namun hal ini hanya berlangsung sebentar, karena ayahnya meninggal ketika ia masih muda. Ia kemudian dibimbing langsung oleh kakak-kakaknya yang ketika itu telah dewasa. Mula-mula ia belajar membaca dan menulis dari kedua kakak lelakinya, Zainuddin Labay El Yunusy dan M Rasyad. Zainuddin Labay adalah ulama pembaru tokoh pendidikan di Sumatera Barat yang mendirikan Diniyat School, Rahmah sempat masuk Diniyah School hingga kelas tiga. Namun, karena tidak puas dengan sekolah yang dianggapnya tidak dapat memecahkan banyak persoalan, termasuk persoalan wanita, ia kemudian belajar pada sejumlah guru lain. Ia belajar agama pada ulama terkenal Minangkabau, seperti Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang Panjang, pengarang Kitab fiqih al Mu’in al Mubin, Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasyidi, dan Syaikh Daud Rasyidi. Selain ilmu keislaman, ia juga mempelajari ilmu kesehatan (khususnya kebidanan) dan keterampilan-keterampilan wanita, seperti memasak, menenun, dan menjahit. Kelak ilmu yang dipelajarinya ini diajarkan kepada murid-muridnya di Diniyah Putri. B. Pemikiran Rahmah El Yunusiyah 1. Kesempatan Menempuh Pendidikan Bagi Kaum Wanita Usaha Rahmah El Yunusiyah dalam bidang pendidikan untuk kaum wanita khususnya itu didasarkan pada cita-citanya, bahwa kaum wanita Indonesia harus memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita, sehingga dapat diamalkan dalam kehidupannya sehari-hari. Usaha pendidikannya itu ditujukan agar kaum wanita sanggup berdikari untuk menjadi ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air. Cita-cita dan tujuannya ini dirumuskan dalam tujuan pendirian Diniyah Putri. Selain itu Rahmah melihat adanya masalah-masalah yang hanya khusus berlaku bagi putri dan wanita yang menurut pendapatnya hanya dapat diberikan oleh wanita . Atas bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya, Labay, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah khusus untuk putri pada tanggal 1 November 1923. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu rumah tangga yang masih sangat muda. Pelajaran diberikan tiap hari selama 3 jam di sebuah Masjid di Pasar Usang, Padang Panjang, dan terdiri dari pelajaran agama serta ilmu alat. Pada tahun 1924 sekolah itu pindah ke sebuah rumah di dekat Masjid, dan mulailah diadakan kelas-kelas yang dilengkapi dengan bangku, meja dan papan tulis. Bagian atas dari rumah ini dipergunakan sebagai asrama yang dalam tahun 1925 didiami oleh kira-kira 60 orang murid. 2. Pemberantasan Buta Huruf Al Quran Di samping usaha tersebut, Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan ibu-ibu yang lebih tua. Pada mulanya, kegiatan ini hanya diikuti oleh kira-kira 125 orang ibu-ibu, tetapi kemudian terpaksa dihentikan, karena sekolah yang didirikan oleh Rahmah ini binasa oleh gempa bumi yang terjadi pada tahun 1926. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka sebuah bangunan darurat terbuat dari bambu dalam sebuah tumpak tanah yang diwakafkan oleh Rahmah terpaksa didirikan. Selanjutnya pada tahun 1927 Rahmah pergi ke Sumatera Utara untuk mengumpulkan dana guna membangun sebuah gedung permanen yang baru. Gedung ini selesai tahun berikutnya. Berikutnya pada tahun 1930 sebuah kelas tambahan pada tingkat menengah diselenggarakan di samping madarasah berkelas tujuh tadi dengan maksud untuk memebrikan pelajaran dan didikan yang lebih tinggi lagi pada murid-murid, dengan tujuan utama agar mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengajar. Selanjutnya pada tahun 1932 Diniyah Putra yang agak bertambah mundur setelah Labay meninggalkan digabungkan dengan madrasah yang didirikan oleh Rahmah. Dengan demikian di sekolah tersebut terdapat pelajar putra putri. Upaya koedukasi (pendidikan campuran laki-laki dan perempuan) ini merupakan upaya yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Namun koedukasi ini tidak dapat dipertahankan lebih lama. Untuk maksud-maksud koordinasi dan juga untuk menghadapi timbulnya kesukaran, suatu badan yang dinamai Majelis Idarah Diniyah School didirikan. Namun pada tahun 1936, ketika Diniyah Putra ini hanya memiliki enam orang murid saja timbul pertikaian antara Rahmah dengan anggota Majelis tersebut. Kejadian tersebut menurut Rahmah adalah karena para anggota majelis tersebut melalaikan tugas. Disamping itu Rahmah-pun berkeberatan untuk membayar pembiayaan Diniyah Putra dari dana yang dapat dikumpulkan dari bagian putri. Namun mengingat hal ini merupakan usaha kakaknya, maka ia pun merasa berkewajiban untuk memajukan Diniyah Putra itu dengan baik. Tetapi untuk itu ia ingin mempunyai kebebasan, dan di tengah-tengah protes dari Majelis Idarah ia pun pada tahun 1936 mengumumkan pembukaan suatu sekolah baru yang semata-mata untuk putra yang pada waktu itu muridnya mencapai 100 orang. 3. Menyatukan Pendidikan bagi Putra dan Putri Perkembangan kedua bagian dari sekolah Diniyah ini kemudian berjalan lancar dan dalam tahun 1937 sebuah sekolah guru untuk putri didirikan, yang disusul tidak berapa lama kemudian dengan pembukaan sebuah sekolah yang sama untuk putra. Sebagaimana pada Thawalib, ke dalam Madrasah Diniyah yang didirikan oleh Rahmah El Yunusiyah juga terkena oleh pengaruh politik perjuangan kemerdekaan dan lainnya yang sedang berkembang saat itu. Hanya saja pengaruh yang masuk ke sekolah tersebut tidak berkembang sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu jalannya kegiatan pendidikan di sekolah tersebut. Pengaruh yang masuk ke Sekolah Diniyah itu agak lambat dibandingkan dengan pengaruh yang masuk ke sekolah Thawalib. Pengaruh itu datang dari Permi dan bukan dari pihak Komunis. Sekitar tahun 1930 pada saat kegiatan-kegiatan politik pada kalangan guru-guru Islam di Minangkabu meningkat, seorang guru Diniyah, Rasuna Said, mulai mengemukakan pendapat ide dan gagasannya melalui pelajaran yang ia berikan di dalam kelas, maupun dalam pembicaraan-pembicaraan di luar Jam pelajaran. Menurut Rasuna Said bahwa para pelajar di samping perlu dilengkapi dengan berbagai kepandaian juga hendaknya diberikan wawasan tentang perjuangan dan partisipasi politik. Menurutnya, para pelajar hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam pengetahuan yang diperlukan untuk seseorang yang akan berkecimpung dalam pergerakan. Untuk maksud itu, maka jika perlu kegiatan pelajaran dan lainnya yang bersifat keagamaan dikurangi untuk memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk latihan berpolitik. Pendapat Rasuna Said sebagaimana tersebut di atas, ditentang oleh Rahmah selaku pendiri dan kepala sekolah. Rahmah berpendapat bahwa pelajaran agama itu lebih penting dari pelajaran apapun. Denga merujuk kepada pendapat Ali bin Abi Thalib, khalifah ke empat, Rahmah mencoba membandingkan keadaan anak laki-laki maupun perempuan, tak ubahnya seperti secarik kertas yang bersih dan di atasnya dapat dicetak atau ditulis apa pun. Atas dasar pemikirannya ini, pelajaran agama merupakan suatu dasar untuk menilai segala masalah yang akan mereka hadapi dalam kehidupan masa depan mereka. Menurut Rahmah, bahwa masalah politik dengan sendirinya akan dapat diketahui oleh para pelajar pada saat mereka terlibat didalamnya setelah mereka tamat belajar. Selam belajar mereka tak perlu terlibat dalam kegiatan perpolitikan. Yang penting adalah dasar Islam yang mereka terima di sekolah yang akan menjadi dasar bagi upaya-upaya mereka dalam kegiatan berpolitik. Cinta tanah ain dan sikap berpolitik pada umumnya tidaklah mudah ataupun tidak dapat digoncang apabila didasarkan pada iman, dengan Rahmah. Tetapi sebaliknya kemampuan apa pun di dalam gerakan politik akan dipergunakan secara bertentangan dengan kepentingan Islam apabila tidak disertai dengan iman. Pemikiran Rahmah tersebut juga didasarkan pada pengamatannya, bahwa pemimpin-pemimpin politik pada masanya di daerah Minangkabau terdiri dari orang-orang yang di dalam masa mudanya, mereka telah memperoleh pelajaran agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki di mana tidak ada pelajaran khusus tentang politik yang diberikan. Dengan melihat kenyataan tersebut, Rahmah berkesimpulan, bahwa para pelajar tidak perlu secara khusus diberikan pelajaran yang tekannya pada teori atau praktik politik. Namun demikian, karena kepopuleran Rasuna Said dalam kiprah politiknya di daerah Minangkabau pada saat itu, yaitu berpartisipasi dalam gerakan kemerdekaan yang sangat dihargai pada waktu itu, maka tidak heran jika sebagian dari murid-murid tersebut ada yang tertarik dalam kegiatan politik. Dalam pada itu Rahmah melihat bahwa beberapa peraturan yang ia keluarkan dalam rangka pelaksanaan kewajiban agama di sekolahnya, seperti pelaksanaan sholat yang sering diabaikan oleh para siswa yang aktif dalam bidang perpolitikan, menyebabkan Rahmah merasa perlu mengadakan pertemuan dengan Rasuna. Pertemuan ini dapat berjalan tanpa berhasil mencapai penyelesaian. Selanjutnya diusahakan penyelesaian melalui perantara. Sebuah panitia yang terdiri dari tiga orang yang diketuai oelh Inyik Basa Bandaro dibentuk. Panitia menyetujui Rahmah. Mereka juga menyadari bahwa sekolah yang didirikan Rahmah tengah menghadapi masalah, berupa penurunan aktivitas keagamaan. Kebijakan dalam mengemudikan sekolah haruslah terletak pada pendiri atau direktur sekolah. Oleh sebab itu Rasuna menarik diri dan pindah ke Padang. 4. Seorang Pendidik dan Pejuang Bangsa Sebagai seorang Pendiri Madrasah, Rahmah memiliki sikap yang bertanggung jawab. Ia bukan hanya memikirkan kemajuan pendidikan murid-muridnya, namun juga keselamatan mereka. Pada masa Jepang masuk ke Indonesia (1942), Rahmah mengungsikan seluruh muridnya sekitar 100 orang untuk menyelamatkan mereka dari serbuan tentara Jepang. Saat itu kota Padang Panjang memang menjadi salah satu ajang pertempuran. Selama pengungsian itu, semua keperluan murid-muridnya ditanggung sendiri oleh Rahmah. Di samping sebagai pendidik, Rahmah juga sebagai seorang pejuang. Dialah orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Jiwa nasionalisme dan patriotismenya memang tertanam kuat dalam dirinya. Karenanya ia sangat mendambakan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, semasa revolusi kemerdekaan, ia dipenjarakan oleh Belanda dan baru dibebaskan tahun 1949 setelah pengakuan kedaulatan. Hingga tahun 1958 ia aktif di bidang politik. Dalam kaitan ini, ia antara lain menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatera Tengah, ketika Barisan Sabilillah dan Sabil Muslimin di Padang, dan anggota Konstituante mewakili Masyumi. Peranannya yang paling menonjol adalah kepeloporannya dalam pembentukan Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 2 Oktober 1945. C. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut. Pertama, Rahmah El Yunusiyah adalah orang pertama Di Sumatera Barat atau mungkin di Indonesia yang amat pedli dengan nasib kaum wanita. Ialah yang memiliki cita-cita agar wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodrat wanita hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Rahmah adalah orang pertama yang mendirikan sekolah khusus untuk kaum wanita. Melalui lembaga pendidikan yang didirikannya ia bercita-cita agar kaum wanita sanggup berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk menjadi ibu, pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, di mana kehidupan agama mendapat tempat yang layak. Cita-citanya ini dirumuskan dalam tujuan pendirian Diniyah Putri. Ketiga, Rahmah El Yunusiyah sangat kuat pendiriannya dalam menanamkan jiwa agama di lembaga pendidikan yang dibangunnya. Agama baginya adalah dasar bagi pembentukan karakter manusia, dan menjadi ini berdirinya berbagai kegiatan lainnya, termasuk bidang politik. Ia juga berpendirian agar sekolah dijauhkan dari aktivitas politik praktis. Karena jika sekolah tersebut terlibat dalam politik praktis dapat menyebabkan sekolah tersebut tidak dapat bekerja secara profesional. Para siswa di sekolah agar belajar dengan tekun, ulet, rajin, dan penuh semangat. Setelah itu barulah ia terjun di masyarakat sesuai dengan bakat dan keahliannya. Keempat, Rahmah El Yunusiyah adalah pendidik yang berjiwa nasionalisme dan patriotisme yang amat kuat, serta memiliki komitmen perjuangan bagi tegaknya bangsa dan negara amat kuat. Ia merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di sekolah yang didirikannya, yaitu ketika mendengar berita proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Kelima, Rahmah El Yunusiyah juga tercatat sebagai orang yang pertama sekali memiliki cita-cita mendirikan Perguruan dan Rumah Sakit khusus untuk kaum wanita. Keenam, dengan berbagai prestasinya yang luar biasa dalam bidang pendidikan dan perjuangan bagi kepentingan bangsa dan negara, Rahmah El Yunusiyah telah mencapai kemajuan yang diakui oleh dunia, sebagaimana terlihat pada penghargaan sebagai Syaikhah yang diberikan Universitas Al Azhar, Kairo kepadanya. Daftar Pustaka Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, cet. VI. Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982, Cet. II. Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Islamic Centre Sumatera Barat, 1981.